Hidayatullah: “Bagaimana BPIP Menjadi Lembaga Penjaga Ideologi Negara Kalau Pimpinannya Tuna Sejarah?”

JAKARTA – RENTAKNEWS : Anggota DPR RI H Hidayatullah, SE mempertanyakan bagaimana mungkin Badan Pembina Ideologi Negara (BPIP) yang dibentuk Presiden Joko Widodo bisa menjalankan fungsinya sebagai lembaga penjaga ideologi Pancasila kalau pemimpinnya ternyata tuna sejarah? Pertanyaan itu dilontarkan H. Hidayatullah SE, ketika diminta tanggapannya tentang pernyataan kontroversial Kepala BPIP Prof. Yudhian Wahyudi yang mengatakan agama adalah musuh terbesar Pancasila.
“BPIP kan lembaga yang dibentuk Presiden untuk menjaga nilai-nilai Pancasila tapi ternyata pimpinan yang diangkat tuna sejarah dan gersang dalam memahami falsafat ideologi negara ini,” kata Hdayatullah melalui telepon seluler kepada reporter Rentaknews Abdul Aziz, kemaren.
Menurut Hidayatullah, BPIP itu ibarat lumbung atau rangkiang dalam filosofi Orang Minangkabau. Dalam konsep kearifan lokal di Minangkabau, lumbuang atau rangkiang itu adalah simbol untuk menaruh harapan. Di lubung itulah persediaan makanan disimpan sehingga ketika paceklik dapat digunakan. “Nah, sekarang pernyataan Kepala BPIP itu bagain pepatah yang mengatakan tikus mati di lumbung padi. Artinya jangan sampai ideologi Pancasila ini jadi hilang ketika ada BPIP yang dipimpin Yudhian Wahyudi ini,” kata Hidyatullah lagi.
Seharusnya menurut Hidayatulla, BPIP ini menjadi lumbung ideologi untuk menggali dan menjaga nilai-nilai Pancasila itu, bukan untuk dibentur-benturkan dengan agama. Ini kan namanya tuna sejarah. Rasanya nalar kita sebagai warga negara berhenti bekerja dan hati nurani kita terseok seok menerima kenyataan ini. “Mengapa orang yang diberi kewenangan memimpin BPIP ternyata tidak paham dengan isi dan ajaran idielogi negara,” tanya Hidatullah lagi.
Lebih lanjut Hidayatullah mengatakan, jangan berharap BPIP akan mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila, jika ternyata sosok pimpinanannya adalah orang yang membalikkan nilai-nilai kebenaran yang ada dalam Pancasila itu. “Nilai-nilai kebenaran tersebut harus dominan diterapkan tanpa ada code of conduct dan code of being,” kata Hidayatullah.
Menurut Hidayatullah, rasanya kita ingin bertanya bagaimana komitmen lembaga ini dalam memperkuat upaya pemberantasan korupsi di tengah-tengah kangkangan pengaruh politik yang terang benderang. “Bagaimana skema penuntasan skandal keuangan Jiwasraya yang sangat mengusik rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu? Bagaimana oligarki kekuasaan menjadi hilir dalam seluruh simpul dan proses demokrasi di negeri ini tanya Hidayatullah lagi.
Untuk itu Hidayatullah mengajak rakyat Indonesia untuk membuka lembaran sejarah perjuangan almarhum Muhammad Natsir dengan Mosi Integralnya yang fenomenal dalam mempersatukan NKRI, bukan meresahkan seperti dilakukan Kepala BPIP itu. “Apakah orang ini dungu atau memang pesanan untuk mengalihkan isu,” kata Hidayatullah mengakhiri wawancara. (*)
Reporter:
Abdul Aziz
Editor:
Harun AR